Sabtu, 10 April 2010

Nikmatnya haji rasul


Bagi yang akan menunaikan ibadah haji pada tahun ini, pasti saat ini sudah mulai menyiapkan segala keperluan untuk berhaji baik secara lahir maupun batin. Nah, untuk menambah ilmu berikut saya tuliskan pengalaman saya pada saat melakukan ibadah haji tahun 1430 H.

Haji merupakan ibadah yang sangat membutuhkan bekal, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa (QS Al Baqarah : 197). Banyak jamaah haji berangkat tanpa ilmu dan hanya mengikuti apa kata “kiai-nya” saja. Padahal salah satu syarat menjadi haji mabrur adalah haji yang dikerjakan harus sesuai dengan sunnah Rasul, bukan haji yang pelaksanaannya sengaja “diringan-ringankan” tanpa dalil seperti apa yang dikerjakan oleh pemerintah kita yang banyak meninggalkan sunnah Rasul, tapi mengerjakan hal-hal yang tidak tuntunannya. Tidak semua orang berkesempatan melaksanakan ibadah haji, oleh karena itu sebagai rasa syukur kita yang telah diberi kesempatan berhaji alangkah indahnya jika kita bisa melaksanakannya sesuai dengan sunnah Rasul.

Alhamdulillah pada tahun 1430 H kami dapat melaksanakan ibadah haji melalui ONH reguler yang insyaALLAH sesuai dengan sunnah rasul. Selama pelaksanaan haji, dengan bertawakkal kepada Allah SWT, kami bertanazul (memisahkan diri dari rombongan pemerintah/DEPAG). Beberapa perbedaan pelaksanaan haji sesuai sunnah rasul dan pemerintah kita yang saya temui pada tahun ini (mungkin juga terjadi setiap tahunnya) sebagai berikut :
1. Tanggal 8 Zulhijjah, setelah berihram dari miqat, Rasul melakukan tarwiyah di Mina, mabit di Mina hingga terbit matahari pada tanggal 9 Zulhijjah. Namun sebagian besar jamaah haji Indonesia langsung berangkat dari Makkah ke Arafah pada tanggal 8 Zulhijjah sore hari. Saya kurang paham, mengapa MUI mengfatwakan demikian…????
Alhamdulillah pada tanggal tersebut kami dapat mabit di Mina serta melaksanakan sholat Dhuhur, Ashar, Magrib, Isya’ dan Subuh di Mina secara qashar tanpa jama’.
Pada tanggal 8 Zulhijjah 1430 H, hujan mengguyur Arab termasuk Arafah, Muzdalifah dan Mina. Bagi jamaah yang melakukan tarwiyah hal tersebut tidak menjadi masalah karena tenda di Mina telah dirancang untuk tetap nyaman walaupun hujan deras. Namun sebaliknya, bagi sebagian besar jamaah Indonesia yang langsung ke Arafah terserang kedinginan karena tenda di Arafah hanya dirancang untuk wukuf selama 6 jam. Akibatnya banyak jamaah yang sakit, tidur beralaskan karpet basah dan atap tenda yang sama sekali tidak dapat menampung air hujan.

2. Tanggal 9 Zulhijjah, setelah terbit matahari Rasul berangkat dari Mina menuju Arafah untuk melakukan wukuf. Waktu wukuf adalah ba’da dhuhur sampai matahari terbenam dengan sempurna diawali dengan kutbah, sekali adzan dan dua kali iqamat untuk shalat dhuhur dan ashar secara qashar dan jama’ taqdim. Tidak melakukan kegiatan apapun selain berdoa dan berdzikir kepada Allah SWT dengan mengangkat kedua belah tangan seperti yang telah dilakukan Rasul.
Setelah matahari terbenam sempurna, bersiap-siaplah berangkat menuju Muzdalifah. Rasul TIDAK mengerjakan sholat magrib dan isya’ di Arafah tetapi melaksanakan sholat magrib dan isya’ jama’ qashar di Muzdalifah. Kenyataannya sebagian besar jamaah Indonesia melakukan sholat magrib dan isya’ di Arafah.

3. Sesampainya di Muzdalifah, segera melaksanakan sholat magrib dan isya’ secara qashar dan jama’, kemudian menetap (tidur) sampai menjelang subuh. Tunaikan sholat Subuh di Muzdalifah pada tanggal 10 Zulhijjah dan setelahnya perbanyak dzikir serta berdoa menghadap kiblat dan mengangkat kedua belah tangan hingga hari menjelang terang seperti yang dilakukan Rasul.
Sebagian besar jamaah Indonesia tidak mabit di Muzdalifah tetapi “sekedar mampir saja”, malah ada yang sudah antri untuk naik bis menuju Mina padahal waktu masih menunjukkan pukul 23.00 WAS. Kenyataannya, hanya sebagian kecil jamaah haji Indonesia yang bertahan sampai sholat Subuh dan berdoa setelahnya di Masya’ril Haram (Muzdalifah). Sebagian besar lagi sibuk karena “ada yang manganjurkan” mencari batu sebanyak-banyaknya bahkan kemudian mencucinya untuk lontar jumrah. Padahal batu yang diperlukan untuk lontar Aqobah tanggal 10 Zulhijjah hanya berjumlah 7 (tujuh) butir saja dan Rasul tidak mencontohkan untuk mencuci batu-batu tersebut. Batu tersebut diperbolehkan diambil dimana saja di tanah haram. Beberapa sumber manyebutkan bahwa Rasul tidak pernah meminta diambilkan batu-batu untuk lontar aqobah di Muzdalifah tetapi batu-batu tersebut diambil ketika Rasul meninggalkan Muzdalifah setelah memasuki Mina. Demikian pula dengan batu-batu yang lain, Rasul mengambilnya di Mina.

4. Sampai di Mina tanggal 10 Zulhijjah Rasul melakukan lontar Aqobah di waktu Dhuha, dilanjutkan dengan memotong hewan hadyu (korban atau dam) (QS Al Baqarah : 196), bertahallul (bagi laki-laki mencukur rambut harus sampai pendek, lebih utama sampai botak sedangkan wanita cukup memotong tiga bagian rambutnya) serta dilanjutkan menuju Mekkah untuk melakukan thawaf ifadah. Bagi jamaah Indonesia ditambah dengan sa’ie karena mengambil haji tamattu’, setelah itu halal semua larangan ihram termasuk hubungan suami istri. Bagi jamaah yang telah uzur usianya lontar dapat diwakilkan dengan syarat yang mewakili harus melontar untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, sedangkan thawaf ifadah dan sa’ie dapat dilakukan setelah hari-hari tasyri’. Bagi wanita yang sedang haid dan nifas thawaf ifadah dilakukan setelah keadaan suci.
Kenyataannya, banyak jamaah Indonesia yang melakukan lontar sebelum subuh (karena mereka telah sampai di Mina tengah malam atau menjelang subuh) atau bahkan karena alasan teknis ada yang melakukan malam harinya yaitu malam tanggal 11 Zulhijjah. Sebagian besar jamaah Indonesia tidak melakukan thawaf ifadah dan sa’ie pada tanggal 10 Zulhijjah padahal tidak ada alasan yang syar’i untuk melewatkannya selain karena alasan terlalu penuh dan sesak di Masjidil Haram…?????
Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata hewan hadyu sebagian besar jamaah haji Indonesia yang dikoordinir oleh para mukimin (orang Indonesia yang bermukim di Arab) telah dipotong sebelum hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah). Harga yang ditawarkan memang lebih murah dibanding jika kita mengamanahkan penyembelihan hadyu melalui penyetoran ke bank pemerintah Arab Saudi (bank Ar Rajhi), jika membayar ke mukimin yaitu sebesar 300-350 SAR sedangkan 430 SAR jika dibayar ke bank Ar Rajhi. Para jamaah dibawa ke pemotongan hewan sebelum tanggal 8 Zulhijjah untuk menyaksikan hewan hadyu mereka disembelih. Padahal menurut berbagai sumber yang shahih, waktu yang diperbolehkan untuk memotong hadyu adalah tanggal 10 Zulhijjah (hari Nahr) dan selama hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah). Pertanyaannya adalah apakah sah ibadah kita jika dilakukan sebelum waktunya? Wa’lahu a’lam bis showab.

5. Setelah melakukan thawaf ifadah dan sa’ie pada hari Nahr kemudian kembali ke Mina. Mabit selama hari tasyriq yaitu malam 11, 12 dan 13 Zulhijjah. Sekiranya ingin segera keluar dari Mina, maka diperbolehkan keluar pada hari ke-12, meskipun jika bermalam pada malam yang ketiga lebih afdal sesuai tuntunan rasul.

6. Selama berada di Mina pada hari-hari tasyriq, lontarlah ketiga-tiga jumrah yaitu Ula, Wustha dan Aqobah, waktunya setelah matahari tergelincir sampai matahari terbenam. Setelah melontar jumrah Ula dan Wustha menghadaplah ke kiblat mengangkat kedua belah tangan dan berdoa sesuai keinginan kita, namun hal ini tidak dilakukan setelah lontar Aqobah karena rasul tidak mencontohkannya.
Kenyataannya, sebagian jamaah Indonesia tidak melontar pada waktunya, melainkan diwaktu pagi bahkan sebelum subuh karena alasan khawatir berdesakan. Padahal Pemerintah Arab Saudi telah membangun jamarat menjadi 5 (lima) lantai, jadi kita bisa melontar tanpa khawatir berdesakan.

7. Ketika hendak meninggalkan Mekkah, lakukan thawaf wada’. Tiada keringanan untuk melakukan thawaf wada’ selain wanita haid dan nifas. Jangan menetap kembali di Mekkah setelah thawaf wada’ selain urusan sangat penting. Tidak perlu berjalan mundur atau melambaikan tangan pada ka’bah untuk mengucapkan selamat tinggal karena perbuatan ini bid’ah dan tidak syariatkan.
Kenyataan banyak jamaah yang melakukan thawaf wada’ sehari atau lewat setengah hari menjelang meninggalkan Mekkah serta melakukan kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilakukan sebelum thawaf wada’.

8. Setelah melaksanakan haji selama menunggu jadwal kepulangan, sebaiknya jamaah memperbanyak ibadah ke Masjidil Al Haram. Kenyataanya banyak jamaah haji Indonesia yang bersusah payah berulangkali melakukan “umrah sunnah” dengan mengambil miqat dari tan’im atau ji’ranah. Padahal hal tersebut tidak ada dalilnya, karena tidak pernah ada contoh dari Rasul. Semasa hidupnya, Rasul hanya melakukan umrah sebanyak 4 (empat) kali di tahun yang berbeda. Perlu diketahui pula bahwa miqat tan’im dan ji’ranah merupakan miqat bagi penduduk Mekah saja.

Wa’lahu a’lam bis showab. Semoga bermanfaat. Allahumma hajjan mabrura wa dzanban maghfurra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar